KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
A.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang
atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang
yang melakukan atau yang mengabaikan itu diancam dengan pidana. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana buku II mulai pasal 104-488 mengatur tentang
kejahatan, dan dalam BAB XX tentang penganiayaan yaitu pasal 351 – 358.
Tindakan penganiayaan terhadap perempuan banyak terjadi dewasa ini terutama
kekerasan dalam rumah tangga atau singkatnya KDRT diatur dalam UU No. 23 tahun
2004.
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia,
aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Dengan
demikian, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan
kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan
dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat
tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar
kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga
tersebut. Keutuhan dan kerukunan Untuk rumah tangga dapat terganggu jika
kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat
terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul ketidakamanan atau
ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut sebagai Hidden Crime yang
telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan masyarakat. Hal ini
dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan disebabkan oleh berbagai faktor.
Sebagai akibatnya tidak hanya dialami oleh istri saja tetapi anak-anak jaga
ikut mengalami penderitaan. Untuk mencegah, melindungi korban, dan menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan
pencegahan, perlindungan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Negara berpandangan
bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah
pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta
bentuk diskriminasi.
Kekerasan (Terhadap Perempuan) dalam Rumah Tangga
Secara ringkas, adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan
atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih
anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis,
penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi
perempuan. Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang
dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap
Perempuan dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin
yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual,
atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan
secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan
pribadi (keluarga).
Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol
seksualitas perempuan dan peran reproduksi mereka. Hal ini sebagaimana biasa
terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah
pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak
terjadi sebaliknya.
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang
dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain
menegaskan bahwa:
a.
Bahwa setiap warga negara berhak
mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai
dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b.
Bahwa segala bentuk kekerasan,
terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang
harus dihapus.
c.
Bahwa korban kekerasan dalam rumah
tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan
dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau
ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan
martabat kemanusiaan.
d.
Bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, perlu dibentuk Undang-undang
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri
sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya
adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis
besar isi pasal yang berbunyi: “Barang
siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam
hukuman pidana”.
B.
Bentuk-bentuk
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat)
macam :
a.
Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.
b.
Kekerasan
psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku
kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan,
komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir
istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan
kehendak.
c.
Kekerasan
seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual
sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
d.
Kekerasan
ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah
istri, bahkan menghabiskan uang istri.
C.
Faktor-Faktor
Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga
Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria
dalam konteks struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:
a)
Pembelaan atas
kekuasaan laki-laki
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan
wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
b)
Diskriminasi
dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja
mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami
kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
c)
Beban
pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh
anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami
akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d)
Wanita sebagai
anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan
kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan
kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan
sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e)
Orientasi
peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan
oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian
kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh
penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan
sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
D.
Cara Penanggulangan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah
Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
antara lain:
1)
Perlunya keimanan yang kuat dan
akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada agamanya sehingga Kekerasan dalam
rumah tangga tidak terjadi dan dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
2)
Harus tercipta
kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam agama itu
mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan orang lain.
Sehingga antara anggota keluarga dapat saling mengahargai setiap pendapat yang
ada.
3)
Harus adanya komunikasi
yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang
rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada keharmonisan
dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi pemicu
timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
4)
Butuh rasa saling percaya,
pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga
rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling
percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa
curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
5)
Seorang istri harus mampu
mengkoordinir berapapun keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang
istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga
kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.
E.
Contoh Kasus
a.
Contoh kasus Kekerasan dalam Rumah
Tangga yang kami ambil adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dialami oleh
Cici Paramida. Dimana dalam kasus KDRTnya ini, wajah Cici Paramida babak
belur akibat peristiwa penabarakan yang diduga dilakukan
suaminya, Suhaebi. Peristiwa itu sendiri berawal ketika Cici yang
mencurigai suaminya membawa perempuan lain mencoba mengejar mobil suaminya
hingga ke kawasan puncak, Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan
Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.
Cici kemudian turun dari mobil.
“Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet
Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan
seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi,
Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.
b.
Pembunuhan Dr. Letty yang ditembak
sang suami di Klinik Azzahra Medical Centre. Ryan Helmi, 41 tahun, pelaku pembunuhan terhadap
dokter Letty Sultri, tidak pernah menafkahi istrinya itu.
Kakak ipar Letty, Yeti Irma, mengatakan, sebagai suami,
Helmi tidak pernah memberikan gajinya kepada Letty.
Sesuai pra-rekonstruksi kasus
dokter tembak istri itu di Klinik Azzahra Medical Centre, Cawang, Senin, 13
November 2017, Yeti menyebutkan tersangka Ryan tidak pernah menafkahi
korban.
"Tersangka ini tidak pernah
memberikan gaji, kerja pun enggak,” katanya di Klinik Azzahra, Senin..
Bahkan harta dokter Letty berupa
mobil dan emas dikabarkan dijual Ryan. Sebagian uang hasil penjualan mobil itu
digunakan Ryan untuk membeli dua pucuk senjata api, yang dipakai menembak
Letty.
Sebelumnya, tersangka kasus
penembakan tersebut, Ryan, mengaku telah membawa kabur dan menjual mobil milik
istrinya, dokter Letty.
Dari contoh kasus diatas kita dapat
menarik kesimpulan bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang
diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis apabila sebuah
pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini tidak
akan terjadi apa bila sang istri menanyakan secara baik-baik kepada suaminya.
Apakah benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan kerjanya, dan
juga sebagai seorang suami seharusnya selalu memberikan nafkah kepada istrinya.