Sabtu, 23 Desember 2017

MULTIKULTURALISME



“Pengertian Multikulturalisme”
Selain pengertian pluralism, pengertian lain yang perlu diperjelas adalah multikulturalisme. Akar kata yang dapat digunakan untuk memahami multikulturalisme adalah kata “kultur”. Dalam catatan M. Ainul Yaqin, ada cukup banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabeth B. Taylor (1832-1917) dan L.H Morgan (1818-1881) yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950) menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam sebuah masyarakat untuk diterapkan. Franz Boas (1858-1942) dan A.L Kroeber (1876-1960) mendefinisikan bahwa kultur adalah hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus umat manusia yang melewatinya secara bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R Radcliffe Brown (1881-1955) dan Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan kultur sebagai sebuah praktik social yang memberikan support terhadap struktur social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya. Ruth Benedict (1887-1948) dan Margareth Mead (1901-1978) menjelaskan bahwa kultur adalah kepribadian yang ditulis dengan luas; bentuk-bentuk dan sekaligus terbentuknya kepribadian tersebut ditentukan oleh kepribadian para anggotanya. Julian Steward (1902-1972) dan Leslie White (1900-1975) menjelaskan bahwa kultur adalah sebuah cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan membuat hidupnya terjamin. Morton Fried (1923-1986) dan Marvin Haris (1927) mendefinisikan kultur sebagai sebab-sebab fisik dan ekonomis yang dapat menyebabkan munculnya kultur itu sendiri dan juga sekaligus dapat menyebabkan perubahan-perubahan di dalamnya. Claude Levi-Strauss (1908) berpendapat bahwa semua kultur adalah refleksi dan struktur biologis yang universal dari pikiran manusia. Harold Conklin (1926) dan Stephem Tyler (1932) mendefinisikan kultur sebagai sebuah alat yang mengatur mental yang dapat menentukan bagaimana seorang anggota sebuah kelompok masyarakat memahami dunianya. E.O.Wilson (1929) dan Jeromen Barko (1944) berpendapat bahwa kultur adalag ekspresi yang tidak terlihat dari cirri-ciri genetic khusus. Sherry Ortner (1941) dan Michelle Rosaldo (1944-1981) berpendapat bahwa kultur adalah peran-peran bagi para wanita dan cara-cara yang dipakai masyarakat untuk mengerti tentang jenis kelamin. Mary Douglas (1921) dan Cliffort Geertz (1926-2006) berpendapat bahwa kultur adalah sebuah cara yang dipakai oleh semua anggota dalam sebuah kelompok masyarakat untuk memahami siapa dirinya dan untuk member arti pada kekhidupan mereka. Renato Rosaldo (1941) dan Vincent Crapanzano (1939) berpendapat bahwa kultur tidak akan pernah dapat digambarkan dengan komplit dan jelas karena pengertian-pengertian tentang kultur pasti merefleksikan bias-bias dari para peneliti. (Naim,Ngainun dan Achmad Sauqi: 2008, 121-122)
Walaupun pengetian kultur sedemikian beragam, tetapi ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman definisi yang ada tersebut. Salah satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian karakteristiknya. Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus. Pertama, kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada kelompok masyarakat bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung kepada kelompok masyarakat yang sama kultur atau berada. Setiap manusia mempunyai kultur dan mereka hidup dalam kultur mereka sendiri-sendiri. Orang Jwa Timur dan orang Jawa Tengah, meskipun sama-sama berada dalam suku Jawa, mempunyai kultur yang berbeda. Ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, seperti bahasa Jawa yang berbeda, budaya lokasl yang berbeda, dan sebagainya.
Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Seorang bayi atau anak kecil yang mudah meniru kebiasaan orangtuanya adalah contoh unik dari kapasitas kemampuan manusia dalam belajar. Dalam hal ini, ada tiga macam bentuk pembelajaran, yaitu; (1) pembelajaran individu secara situasional. Pembelajaran ini terjadi pada hewan yang belajar tentang apa yang akan dilakukannya di masa yang akan dating, berdasarkan pengalamannya sendiri. Seekor hewan akan menghindari api apabila dia mempunyai pengalaman merasakan panasnya tersulut api. (2) pembelajaran situasi secara social. Ini dapat dipahami dengan mengambil contoh dari tingkah laku seekor serigala yang belajar berburu dengan cara melihat serigala lainnya yang melakukan perburuan. (3) pembelajaran cultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya untuk menggunakan symbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya dengan asal-usul di mana mereka berada.
Ketiga, Kultur adalah sebuah symbol. Dalam hal ini, symbol dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa khusus yang hanya dapat di artikan secara khusus pula, atau bahkan tidak dapat diartikan ataupun dijelaskan. Symbol ini, kadang kala tidak ada hubungannya dengan symbol yang digunakan dengan apa yang disimbolisasikan. Simbol, dalam hal ini, umumnya berbentuk linguistic. Kata “harimau” merupakan sebutan untuk seekor hewan buas. Kenapa disebut harimau, sa,pai saat ini pun masih menjadi tanda Tanya. Kata harimau adalah symbol bagi salah satu hewan buas menurut masyarakat kita, sedang bangsa lain ada yang menyebutnya dengan “tiger”. Di sisi lain, ada juga symbol non-verbal seperti sebuah bendera yang dapat mewakili sebuah Negara.
Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami. Secara alamiah, manusia harus makan dan mendapatkan energy, kemudian kultru mengajarkan pada manusia untuk makan makanan jenis apa, kapan waktu makan, dan bagimana cara makan. Kultur juga dapat menyesuaikan diri kita dengan keadaan alam secara alamiah di mana kita hidup.
Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat. Kultur secara alamiah ditransformasikan melalui masyarakat. Pernyataan ini dapat dilihat dari pengalaman kita ketika belajar tentang kultur dengan cara observasi, mendengar, berbicara, dan berinteraksi dengan orang lain. Selanjutnya, secara bersama-sama, kita mempunyai kepercayaan, kultur, nilai-nilai, ingatan-ingatan, harapan-harapan, berbagai gaya berpikir, dan tingkah laku yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara individu-individu.
Keenam, kultur adalah sebuah model, artinya, kultur bukan kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali. Kultur adalah sesuatu yang disatukan dengan system-sistem yang tersusun dengan jelas. Adat-istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai adaalh sesuatu yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Contohnya pada masa sebelum tahun 1970-an wanita Indonesia mayoritas memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Kemudian setelah itu hingga awal tahun 1990-an, mayoritas mereka sudah memilih untuk melanjutkan sekolah dan bekerja secara professional, di samping menjadi ibu rumah tangga. Namun pada masa sesudah itu hingga sekarang, mayoritas wanita Indonesia sudah mempunyai kesadaran untuk meningkatkan karier mereka dan menjadi pekerja secara professional. Kondisi ini disebabkan pada zaman modern sekarang ini, pandangan mayoritas wanita tentang perkawinan, rumah tangga, dan keluarga berbeda dengan tahun-tahun sebelumya.
Ketujuh. Kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif. Artinya, kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan. Karakteristik-karakteristik biologis maupun kultural yang dipakai dalam proses bartahan hidup dan melanggengkan keturunan ini kemudian disebut sebagai sesuatu yang adaptif. (Naim,Ngainun dan Achmad Sauqi: 2008, 123-125)
Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap multikulturalisme, yaitu sebuah paham tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan.
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandug pengaduan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya massing-masing yang unik.
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Parsudi Suparlan melihat bahwa dalam perspektif tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu bekerja melalui pranata-pranata social. Sebagai sebuah idea tau ideology, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan social, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan. (Choirul Mahfud: 2013, 76).
Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun kesadaran multikulturalisme dimaksud. Karena, dlaam tataran ideal, pendidikan seharusnya bisa berperan sebagai ‘juru bicara’ bagi terciptanya fundamental kehidupan multikultural yang terbebas dari kooptasi Negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada perubahan paradigm dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju identitas tunggal, lalu kea rah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.
Tujuan pendidikan multikultural adalah utnuk memberdayakan siswa untuk mengemabangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja sama, membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya. Pendidikan multicultural diselenggarakan dalam upaya mencapai tujuannya, yakni untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Al-Hakim, Suparlan dan Sri Untari: 2007, 6)
Selanjutnya harus diakui bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia belum sepenhunya dipahami oleh segenap masyarakat sebagai sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan bukan faktor bentukan manusia. Memang, manusia terlahir berbeda, baik secara fisik maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bias menerima realitas bahwa setiap individu atau kelompok memiliki system keyakinan, budaya, adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.
Nalar kolektif masyarakat tentang multikulturalisme kebangsaan masih terkooptasi oleh logosentrisme tafsir hegemonic yang syarat akan prasangka, kecurigaan, bias kebencian, dan reduksi terhadap kelompok yang berada diluar dirinya (the other). Akibatnya, ikatan-ikatan social melalui kolektivitas dan kerjasama hanya berlaku di dalam kelompoknya sendiri, tidak berlaku bagi kelompok lain.
Kondisi multikulturalisme kebangsaan bias diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia merupakan modalitas yang bias menghasilkan energy positif, tetapi di sisi lain, manakala keanekaragaman tersebut tidak bias di kelola dengan baik, ia bisa menjadi ledakan destruktif yang bias menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan. Sejarah peradaban bangsa-bangsa  besar, Amerika dan Kanada misalnya, adalah sejarah keberhasilannya mengelola dan me-manage multikulturalisme kebangsaannya. Konsep melting pot society, yang di dalamnya mengandalkan terjadinya peleburan berbagai elemen sosial budaya ke dalam sebuah ‘campuran homogen’, menjadi pijakan konseptual praktis dalam membangun masyarakat multikultural itu.
Sebenarnya, Indonesia memiliki track record yang tidak terlalu jelek dalam pengelolaan keanekaragaman social budaya. Sejarah bangsa Indonesia selalu di warnai oleh sikap toleransi dan asimilasi. Kedatangan unsure-unsur nbaru dalam kehidupan masyarakat hampir tidak menemui gesekan social yang berarti. Masyarakat tidak sekedar mudah beradaptasi terhadap nilai-nilai baru itu, tetapi juga berhassil mengadopsinya ke dalam struktur social budaya mereka.
Hal ini dibuktikan, misalnya, oleh kenyataan sejarah betapa masyarakat Jawa sangat mudah menggabungkan dua atau lebih system nilai yang berbeda yang kemudian turut membentuk dan mengolah peradaban Jawa menjadi indic. Sehingga tidaklah mengherankan bila candi Hindu dan Buddha berarti saling berdampingan, dan raja-raja Jawa di sebut sebagai ‘Siwa-Buddha’ sebagai wujud representasi dialog dua peradaban Hindu Buddha. Kehidupan toleransi semacam ini telah berlangsung di Jawa selama kurang lebih satu millennium sebelum kemudian nilai-nilai Islam turut mewarnai kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa pada abad ke-14. (Choirul Mahfud: 2013, 79-81)
Sementara Abdullah menyatakan bahwa multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan kesetaraan budaya-budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.
Multikulturalisme merupakan suatu paham atau situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan. Multikulturalisme sering merupakan perasaan nyaman yang dibentuk oleh pengetahuan. Pengetahuan dibangun oleh keterampilan yang mendukung suatu proses komunikasi yang efektif, dengan setiap orang dari sikap kebudayaan yang ditemui dalam setiap situasi yang melibatkan sekelompok orang yang berbeda latar belakang kebudayaannya. Rasa aman adalah suasana tanpa kecemasan, tanpa mekanisme pertahanan diri dalam pengalaman dan perjumpaan antarbudaya. (Alo Liweri: 2003, 16)
Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui kebergaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultur). Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (etnic and cultural groups) yang dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat yang plural tersebut. (Mahendrawati, Nanih dan Ahmad Syafei: 2001, 34)
Adapun masyarakat multikultur adalah masyarakat yang mampu menekankan dirinya sebagai arbitrer, yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsilasi ketika proses dialektika tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh. Tidak mungkin sebuah masyarakat selamanya berada dalam keadaan damai tanpa persoalan, sebab justru dalam persoalan inilah dinamika hidup bergerak. Masyarakat multicultural adalah masyarakat yang senantiasa memiliki optimisme untuk menyelesaikan persoalan apa pun yang dihadapi. Optimisme ini tentu bukan sekedar optimisme tanpa modal, tetapi optimisme yang didukung oleh kemampuan dan kemauan untuk selalu meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual agar dapat memiliki sensibilitas, sensitivitas, apresiasi, simpati, dan empati. Dengan demikian, masyarakat multicultural adalah mereka yang telah mempelajari dan menggunakan kebudayaan secara efektif, cepat, jelas, serta ideal dalam interaksi dan komunikasi dengan orang lain. (Alo Liweri: 2003, 16).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar