“Pengertian
Multikulturalisme”
Selain pengertian
pluralism, pengertian lain yang perlu diperjelas adalah multikulturalisme. Akar
kata yang dapat digunakan untuk memahami multikulturalisme adalah kata
“kultur”. Dalam catatan M. Ainul Yaqin, ada cukup banyak ilmuwan dunia yang
memberikan definisi kultur. Mereka antara lain: Elizabeth B. Taylor (1832-1917)
dan L.H Morgan (1818-1881) yang mengartikan kultur sebagai sebuah budaya yang
universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh
anggota masyarakat. Emile Durkheim (1858-1917) dan Marcel Maus (1872-1950)
menjelaskan bahwa kultur adalah sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol
yang mengikat di dalam sebuah masyarakat untuk diterapkan. Franz Boas
(1858-1942) dan A.L Kroeber (1876-1960) mendefinisikan bahwa kultur adalah
hasil dari sebuah sejarah-sejarah khusus umat manusia yang melewatinya secara
bersama-sama di dalam kelompoknya. A.R Radcliffe Brown (1881-1955) dan
Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggambarkan kultur sebagai sebuah praktik
social yang memberikan support terhadap
struktur social untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan individunya. Ruth Benedict
(1887-1948) dan Margareth Mead (1901-1978) menjelaskan bahwa kultur adalah
kepribadian yang ditulis dengan luas; bentuk-bentuk dan sekaligus terbentuknya
kepribadian tersebut ditentukan oleh kepribadian para anggotanya. Julian
Steward (1902-1972) dan Leslie White (1900-1975) menjelaskan bahwa kultur
adalah sebuah cara bagi manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya dan
membuat hidupnya terjamin. Morton Fried (1923-1986) dan Marvin Haris (1927)
mendefinisikan kultur sebagai sebab-sebab fisik dan ekonomis yang dapat
menyebabkan munculnya kultur itu sendiri dan juga sekaligus dapat menyebabkan
perubahan-perubahan di dalamnya. Claude Levi-Strauss (1908) berpendapat bahwa
semua kultur adalah refleksi dan struktur biologis yang universal dari pikiran
manusia. Harold Conklin (1926) dan Stephem Tyler (1932) mendefinisikan kultur
sebagai sebuah alat yang mengatur mental yang dapat menentukan bagaimana
seorang anggota sebuah kelompok masyarakat memahami dunianya. E.O.Wilson (1929)
dan Jeromen Barko (1944) berpendapat bahwa kultur adalag ekspresi yang tidak
terlihat dari cirri-ciri genetic khusus. Sherry Ortner (1941) dan Michelle
Rosaldo (1944-1981) berpendapat bahwa kultur adalah peran-peran bagi para
wanita dan cara-cara yang dipakai masyarakat untuk mengerti tentang jenis
kelamin. Mary Douglas (1921) dan Cliffort Geertz (1926-2006) berpendapat bahwa
kultur adalah sebuah cara yang dipakai oleh semua anggota dalam sebuah kelompok
masyarakat untuk memahami siapa dirinya dan untuk member arti pada kekhidupan
mereka. Renato Rosaldo (1941) dan Vincent Crapanzano (1939) berpendapat bahwa
kultur tidak akan pernah dapat digambarkan dengan komplit dan jelas karena
pengertian-pengertian tentang kultur pasti merefleksikan bias-bias dari para
peneliti. (Naim,Ngainun dan Achmad Sauqi: 2008, 121-122)
Walaupun pengetian kultur sedemikian beragam, tetapi
ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman definisi yang ada
tersebut. Salah satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian
karakteristiknya. Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa
karakter khusus. Pertama, kultur
adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus. General artinya setiap
manusia di dunia ini mempunyai kultur, dan spesifik berarti setiap kultur pada
kelompok masyarakat bervariasi antara satu dengan lainnya, tergantung kepada
kelompok masyarakat yang sama kultur atau berada. Setiap manusia mempunyai
kultur dan mereka hidup dalam kultur mereka sendiri-sendiri. Orang Jwa Timur
dan orang Jawa Tengah, meskipun sama-sama berada dalam suku Jawa, mempunyai
kultur yang berbeda. Ini dapat dilihat dari beberapa indikasi, seperti bahasa
Jawa yang berbeda, budaya lokasl yang berbeda, dan sebagainya.
Kedua, kultur adalah sesuatu yang dipelajari. Seorang
bayi atau anak kecil yang mudah meniru kebiasaan orangtuanya adalah contoh unik
dari kapasitas kemampuan manusia dalam belajar. Dalam hal ini, ada tiga macam
bentuk pembelajaran, yaitu; (1) pembelajaran individu secara situasional.
Pembelajaran ini terjadi pada hewan yang belajar tentang apa yang akan dilakukannya
di masa yang akan dating, berdasarkan pengalamannya sendiri. Seekor hewan akan
menghindari api apabila dia mempunyai pengalaman merasakan panasnya tersulut
api. (2) pembelajaran situasi secara social. Ini dapat dipahami dengan
mengambil contoh dari tingkah laku seekor serigala yang belajar berburu dengan
cara melihat serigala lainnya yang melakukan perburuan. (3) pembelajaran
cultural, yaitu suatu kemampuan unik pada manusia dalam membangun kapasitasnya
untuk menggunakan symbol-simbol atau tanda-tanda yang tidak ada hubungannya
dengan asal-usul di mana mereka berada.
Ketiga, Kultur adalah sebuah symbol. Dalam hal ini, symbol
dapat berbentuk sesuatu yang verbal dan non-verbal, dapat juga berbentuk bahasa
khusus yang hanya dapat di artikan secara khusus pula, atau bahkan tidak dapat
diartikan ataupun dijelaskan. Symbol ini, kadang kala tidak ada hubungannya
dengan symbol yang digunakan dengan apa yang disimbolisasikan. Simbol, dalam
hal ini, umumnya berbentuk linguistic. Kata “harimau” merupakan sebutan untuk
seekor hewan buas. Kenapa disebut harimau, sa,pai saat ini pun masih menjadi
tanda Tanya. Kata harimau adalah symbol bagi salah satu hewan buas menurut
masyarakat kita, sedang bangsa lain ada yang menyebutnya dengan “tiger”. Di
sisi lain, ada juga symbol non-verbal seperti sebuah bendera yang dapat
mewakili sebuah Negara.
Keempat, kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang
alami. Secara alamiah, manusia harus makan dan mendapatkan energy, kemudian
kultru mengajarkan pada manusia untuk makan makanan jenis apa, kapan waktu
makan, dan bagimana cara makan. Kultur juga dapat menyesuaikan diri kita dengan
keadaan alam secara alamiah di mana kita hidup.
Kelima, kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara
bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok
masyarakat. Kultur secara alamiah ditransformasikan melalui masyarakat.
Pernyataan ini dapat dilihat dari pengalaman kita ketika belajar tentang kultur
dengan cara observasi, mendengar, berbicara, dan berinteraksi dengan orang
lain. Selanjutnya, secara bersama-sama, kita mempunyai kepercayaan, kultur,
nilai-nilai, ingatan-ingatan, harapan-harapan, berbagai gaya berpikir, dan
tingkah laku yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara
individu-individu.
Keenam, kultur adalah sebuah model, artinya, kultur bukan
kumpulan adat istiadat dan kepercayaan yang tidak ada artinya sama sekali.
Kultur adalah sesuatu yang disatukan dengan system-sistem yang tersusun dengan
jelas. Adat-istiadat, institusi, kepercayaan, dan nilai-nilai adaalh sesuatu
yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Contohnya pada masa sebelum
tahun 1970-an wanita Indonesia mayoritas memilih untuk menjadi ibu rumah
tangga. Kemudian setelah itu hingga awal tahun 1990-an, mayoritas mereka sudah memilih
untuk melanjutkan sekolah dan bekerja secara professional, di samping menjadi
ibu rumah tangga. Namun pada masa sesudah itu hingga sekarang, mayoritas wanita
Indonesia sudah mempunyai kesadaran untuk meningkatkan karier mereka dan
menjadi pekerja secara professional. Kondisi ini disebabkan pada zaman modern
sekarang ini, pandangan mayoritas wanita tentang perkawinan, rumah tangga, dan
keluarga berbeda dengan tahun-tahun sebelumya.
Ketujuh. Kultur adalah sesuatu yang bersifat adaptif.
Artinya, kultur merupakan sebuah proses bagi sebuah populasi untuk membangun
hubungan yang baik dengan lingkungan di sekitarnya sehingga semua anggotanya
melakukan usaha maksimal untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan.
Karakteristik-karakteristik biologis maupun kultural yang dipakai dalam proses
bartahan hidup dan melanggengkan keturunan ini kemudian disebut sebagai sesuatu
yang adaptif. (Naim,Ngainun dan Achmad Sauqi: 2008, 123-125)
Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman
dan pemaknaan terhadap multikulturalisme, yaitu sebuah paham tentang kultur
yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan adanya pemahaman, saling
pengertian, toleransi, dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai
dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan.
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan.
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandug
pengaduan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan
kebudayaannya massing-masing yang unik.
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai
sekaligus merasa bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya.
Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (politics of recognition) merupakan akar
dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus
dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep
yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya.
Karena multikulturalisme itu adalah sebuah ideology dan sebuah alat atau wahana
untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan
harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.
Parsudi Suparlan melihat bahwa dalam perspektif
tersebut, kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga
harus diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat dan pemahaman adalah
bagaimana kebudayaan itu bekerja melalui pranata-pranata social. Sebagai sebuah
idea tau ideology, multikulturalisme terserap ke dalam berbagai interaksi yang
ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam
kehidupan social, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai
kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan. (Choirul Mahfud: 2013,
76).
Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk
membangun kesadaran multikulturalisme dimaksud. Karena, dlaam tataran ideal,
pendidikan seharusnya bisa berperan sebagai ‘juru bicara’ bagi terciptanya fundamental kehidupan multikultural
yang terbebas dari kooptasi Negara. Hal itu dapat berlangsung apabila ada
perubahan paradigm dalam pendidikan, yakni dimulai dari penyeragaman menuju
identitas tunggal, lalu kea rah pengakuan dan penghargaan keragaman identitas
dalam kerangka penciptaan harmonisasi kehidupan.
Tujuan pendidikan multikultural adalah utnuk
memberdayakan siswa untuk mengemabangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda
budaya, memberi kesempatan untuk bekerja sama, membantu siswa untuk mengakui
ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya. Pendidikan multicultural
diselenggarakan dalam upaya mencapai tujuannya, yakni untuk mengembangkan
kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang
berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap
perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Al-Hakim, Suparlan dan Sri Untari: 2007, 6)
Selanjutnya harus diakui bahwa multikulturalisme
kebangsaan Indonesia belum sepenhunya dipahami oleh segenap masyarakat sebagai
sesuatu yang given, takdir Tuhan, dan
bukan faktor bentukan manusia. Memang, manusia terlahir berbeda, baik secara
fisik maupun non fisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bias menerima
realitas bahwa setiap individu atau kelompok memiliki system keyakinan, budaya,
adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.
Nalar kolektif masyarakat tentang multikulturalisme
kebangsaan masih terkooptasi oleh logosentrisme tafsir hegemonic yang syarat
akan prasangka, kecurigaan, bias kebencian, dan reduksi terhadap kelompok yang
berada diluar dirinya (the other).
Akibatnya, ikatan-ikatan social melalui kolektivitas dan kerjasama hanya
berlaku di dalam kelompoknya sendiri, tidak berlaku bagi kelompok lain.
Kondisi multikulturalisme kebangsaan bias
diibaratkan sebagai pedang bermata ganda: di satu sisi, ia merupakan modalitas
yang bias menghasilkan energy positif, tetapi di sisi lain, manakala
keanekaragaman tersebut tidak bias di kelola dengan baik, ia bisa menjadi
ledakan destruktif yang bias menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan.
Sejarah peradaban bangsa-bangsa besar,
Amerika dan Kanada misalnya, adalah sejarah keberhasilannya mengelola dan me-manage multikulturalisme
kebangsaannya. Konsep melting pot society,
yang di dalamnya mengandalkan terjadinya peleburan berbagai elemen sosial
budaya ke dalam sebuah ‘campuran homogen’, menjadi pijakan konseptual praktis
dalam membangun masyarakat multikultural itu.
Sebenarnya, Indonesia memiliki track record yang
tidak terlalu jelek dalam pengelolaan keanekaragaman social budaya. Sejarah
bangsa Indonesia selalu di warnai oleh sikap toleransi dan asimilasi.
Kedatangan unsure-unsur nbaru dalam kehidupan masyarakat hampir tidak menemui
gesekan social yang berarti. Masyarakat tidak sekedar mudah beradaptasi
terhadap nilai-nilai baru itu, tetapi juga berhassil mengadopsinya ke dalam
struktur social budaya mereka.
Hal ini dibuktikan, misalnya, oleh kenyataan sejarah
betapa masyarakat Jawa sangat mudah menggabungkan dua atau lebih system nilai
yang berbeda yang kemudian turut membentuk dan mengolah peradaban Jawa menjadi indic. Sehingga tidaklah mengherankan
bila candi Hindu dan Buddha berarti saling berdampingan, dan raja-raja Jawa di
sebut sebagai ‘Siwa-Buddha’ sebagai wujud representasi dialog dua peradaban
Hindu Buddha. Kehidupan toleransi semacam ini telah berlangsung di Jawa selama
kurang lebih satu millennium sebelum kemudian nilai-nilai Islam turut mewarnai
kehidupan sosio-kultural masyarakat Jawa pada abad ke-14. (Choirul Mahfud:
2013, 79-81)
Sementara Abdullah menyatakan bahwa
multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesenjangan dan
kesetaraan budaya-budaya yang ada. Dengan kata lain, penekanan utama
multikulturalisme adalah pada kesetaraan budaya.
Multikulturalisme merupakan suatu paham atau
situasi-kondisi masyarakat yang tersusun dari banyak kebudayaan.
Multikulturalisme sering merupakan perasaan nyaman yang dibentuk oleh
pengetahuan. Pengetahuan dibangun oleh keterampilan yang mendukung suatu proses
komunikasi yang efektif, dengan setiap orang dari sikap kebudayaan yang ditemui
dalam setiap situasi yang melibatkan sekelompok orang yang berbeda latar
belakang kebudayaannya. Rasa aman adalah suasana tanpa kecemasan, tanpa
mekanisme pertahanan diri dalam pengalaman dan perjumpaan antarbudaya. (Alo
Liweri: 2003, 16)
Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep di
mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui kebergaman,
perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis, dan agama. Sebuah
konsep yang memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau
majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam
(multikultur). Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang kelompok-kelompok
etnik atau budaya (etnic and cultural
groups) yang dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh
kesediaan untuk menghormati budaya lain. Pluralitas ini juga dapat ditangkap
oleh agama, selanjutnya agama mengatur untuk menjaga keseimbangan masyarakat
yang plural tersebut. (Mahendrawati, Nanih dan Ahmad Syafei: 2001, 34)
Adapun masyarakat multikultur adalah masyarakat yang
mampu menekankan dirinya sebagai arbitrer,
yaitu sebagai penengah bagi proses rekonsilasi ketika proses dialektika
tersebut menemui kejumudan atau titik jenuh. Tidak mungkin sebuah masyarakat
selamanya berada dalam keadaan damai tanpa persoalan, sebab justru dalam
persoalan inilah dinamika hidup bergerak. Masyarakat multicultural adalah
masyarakat yang senantiasa memiliki optimisme untuk menyelesaikan persoalan apa
pun yang dihadapi. Optimisme ini tentu bukan sekedar optimisme tanpa modal,
tetapi optimisme yang didukung oleh kemampuan dan kemauan untuk selalu
meningkatkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual agar dapat
memiliki sensibilitas, sensitivitas, apresiasi, simpati, dan empati. Dengan
demikian, masyarakat multicultural adalah mereka yang telah mempelajari dan
menggunakan kebudayaan secara efektif, cepat, jelas, serta ideal dalam
interaksi dan komunikasi dengan orang lain. (Alo Liweri: 2003, 16).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar