Jumat, 22 Desember 2017

HUKUM PERDATA



Sebelum mengenal terlebih dahulu tentang sejarah hukum perdata, alangkah baiknya mengenal terlebih dahulu apa itu hukum perdata. Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.
Menurut seorang pakar hukum Internasional yaitu H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan - kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang - orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.
Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Secara Umum, kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. KUH Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Pada tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J. scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J. Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit. Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23, dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut. Disamping itu, sejarah mengenai perkembangan hukum perdata yang berkembang di Indonesia bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata Belanda yang di berlakukan asas Korkondansi yaitu hukum yang berlaku di negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri penjajah.
Secara makrosubtansial, perubahan – perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia:
Pertama, pada mulanya hukumperdata Indonesia merupakan ketentuan- ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang di berlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB).Sesuai dengan stbll.No.23 tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi pada tahun 1848 di undangkan KUH perdata (BW) oleh pemerintah Belanda.Di samping BW berlaku juga KUHD (WvK) yang di atur dalam stbl.1847 No.23. Dalam Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam dua periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia Merdeka. Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama dengan hukum perdata. Hukum perdata yang di berlakukan bangsa belanda untuk Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang sangat panjang. Pada mulanya hukum perdata belanda di rancang oleh suatu panitia yang di bentuk tahun 1814 yang di ketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776 – 1824).Tahun 1816,Kempers menyampaikan rencana kode hukum tersebut pada pemerintah Belanda di dasarkan pada hukum Belanda kuno dan di beri nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini di tantang keras oleh P.Th.Nicolai,yaitu anggota parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi Presiden Pengadilan Belgia.Tahun 1824 Kempers meninggal,selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum di serahkan Nicolai.Akibat perubahan tersebut,dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar berorientasikan pada code civil Perancis.Code civil Perancis sendiri meresepsi hukum romawi,Corpus Civilis dari Justinianus.Dengan demikian hukum perdata belanda merupakan kombinasi dari hukum Kebiasaan/hukum Belanda kuno dan Code Civil Perancis.Tahun 1838,Kodifikasi hukum perdata Belanda Di tetapkan dengan stbl.838. Pada tahun 1848,kodifikasi hukum perdata belanda di berlakukan di Indonesia dengan stbl.1848. Dan Tujuh tahun kemudian,Hukum perdata di Indonesia kembali di pertegas lagi dengan stbl.1919.
 Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum Perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan di nyatakan masih berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut di sesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
Hukum perdata dalam arti luas ialah bahan hukum sebagaimana tertera dalam KitabUndang-undang Hukum Perdata (KUHP) atau disebut juga dengan Burgelijk Wetboek (BW), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) disebut juga denganWetboek van Koophandel (WvK) beserta sejumlah undang-undang yang disebutundang-undang tambahan lainnya. Undang-undang mengenai Koperasi, undang-undang nama perniagaan.
Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana terdapat dalamkitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dengan kata lain, hukum perdata dalamarti luas ialah meliputi semua peraturan-peraturan hukum perdata baik yangtercantum dalam KUH Perdata / BW maupun dalam KUHD dan Undang-Undanglainnya.Hukum Perdata (Sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata / BW)mempunyai hubungan yang erat dalam hukum dagang (KUHD). Hal ini tampak jelasdari isi ketentuan pasal 1 KUHD. Mengenai hubungan kedua hukum tersebut dikenaladanya adegium “Lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus : KUHPmengesampikan hukum umum : KUH perdata).
Hukum perdata yang berlaku di indonesia berdasarkan pasal 163 IS (IndischeStaatsregeling = Aturan Pemerintah Hindia Belanda) adalah berlainan untuk golongan warga Indonesia yaitu :
a.   Untuk golongan warga negara Indonesia Asli berlaku hukum adat, yaituhukum yang sejak dulu kala secara turun temurun. 
b.  Untuk golongan warga negara Indonesia keturunan cina berlaku seluruh BWdengan pembahan mengenai pengangkatan anak dan kongsi (S. 1917 No. 129)
c.   Untuk golongan warga negara Indonesia keturunan Arab, India, Pakistan danlain-lain berlaku sebagaimana BW yaitu mengenai hukum harta kekayaan danhukum waris dengan surat wasiat, sedang mengenai hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat berlaku hukum adatnya sendiri, yaitu hukum adatmereka yang tumbuh di Indonesia (S. 1924 no. 556)
d.  Untuk golongan warga negara Indonesia keturunan Eropa (Belanda, Jerman,Perancis) dan Jepang seluruh BW.

Bagi orang Indonesia asli apabila mereka menghendaki, ketentuan-ketentuan dalam BW dapat dinyatakan berlaku bagi mereka (baik untuk seluruhnya, sebagian atauuntuk suatu perbuatan hukum tertentu). Demikian pula apabila sesuatu perbuatanhukum tidak dikenal dalam hukum adat, seperti pendirian PT, CV, Firma atau penarikan wesel dan cek, maka bagi orang Indonesia asli yang melakukan perbuatanhukum seperti itu diperlakukan ketentuan dalam BW (S. 1917 No. 556). Pluralisasi hukum perdata artinya bermacam-macam berlakunya hukum perdatakarena belum adanya : univikasi --- hal ini karena adanya bermacam-macamgolongan. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum perdata yang tertulis adalah hukum perdata sebagaimana yang diatur dalam BW, sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis adalah hukum adat, yaituhukum yang sejak dahulu kala dianut atau dipatuhi secara turun-temurun ataukebiasaan yang senantiasa dipatuhi dan dipandang sebagai hukum oleh yang berkepentingan.
Apabila ditilik dari sistematikanya, ternyata hukum perdata di Indonesia mengenaldua sistematika :
a)      Sistematika hukum perdata menurut undang-undang yaitu hubungan perdatasebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW yangterdiri :
Buku I : tentang orang (Van personen) yang mengatur hukum perseorangandan hukum keluarga --- diatur (pasal 1 s/d 498)
Buku II: tentang Benda (van Zaken) yang mengatur hukum benda dan hukumwaris --- diatur (pasal 499 s/d 1232)
Buku III: tentang Perikatan (Van Verbintenissen) yang mengatur hukum perikatan dan hukum perjanjian --- diatur (pasal 1233 s/d 1864)
Buku IV: tentang pembuktian dan kadaluwarsa, yang mengatur alat-alat buktidan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum --- diatur (pasal1865 s/d 1993).
b)      Menurut ilmu pengetahuan hukum, sistematika hukum perdata material terdiri:
a.        Hokum tentang orang / Hukum perorangan / badan pribadi (personen recht)
b.      Hokum tentang keluarga / hokum keluarga (familie recht)
c.       Hokum tentang harta kekayaan / hokum harta benda (vermogen recht)
d.      Hokum waris (erfrecht)

Keterangan :
1.    Hukum perorangan mengatur tentang hal-hal diri seseorang
2.    Hukum Keluarga mengatur tentang hubungan hukum yang timbul dari perkawinan
3.    Hukum benda mengatur tentang kekuasaan orang atas benda
4.    Hukum perikatan mengatur tentang hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dan Undang-undang
5.    Hukum waris mengatur tentang harta kekayaan seseorang yang telah meninggal


Beberapa asas yang terkandung dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam Hukum Perdata adalah:
1.      Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
2.      Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3.      Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
4.      Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya mengikat.
5.      Asas Persamaan hukum,
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
6.      Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
7.      Asas Kepastian Hukum,
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
8.      Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
9.       Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
10.  Asas Kepatutan.
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
11.  Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
12.  Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar