Sebelum
mengenal terlebih dahulu tentang sejarah hukum perdata, alangkah baiknya
mengenal terlebih dahulu apa itu hukum perdata. Hukum perdata adalah
aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain
yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat
maupun pergaulan keluarga.
Menurut seorang pakar hukum
Internasional yaitu H. F. A Vollmar mengatakan bahwa hukum perdata adalah
aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya
memberikan perlindungan pada kepentingan - kepentingan perseorangan dalam
perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang
lain dari orang - orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai
hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.
Hukum perdata dibedakan menjadi dua,
yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material
mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata
formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila
dilanggar oleh orang lain. Secara Umum, kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek (BW) adalah kodifikasi
hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan tersebut sangat
dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri
disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu
dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. KUH Perdata (BW) berhasil disusun
oleh sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. J.M. Kemper dan sebagian besar
bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain serta kodifisikasi KUH
Perdata selesai pada 5 Juli 1830, namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1
Oktober 1838. pada tahun itu diberlakukan juga KUH Dagang (WVK).
Pada tanggal 31 Oktober 1837
Scholten van Oud Haarlem diangkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr.
A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut
juga belum berhasil. Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr. C.J.
scholten van Oud Haarlem lagi, tatapi anggotanya diganti, yaitu Mr. J.
Schneither dan Mr. J. Van Nes. Akhirnya panitia inilah yang berhasil
mengkodifikasi KUH Perdata Indonesia berdasarkan asas konkordasi yang sempit.
Artinya KUH Perdata Belanda banyak menjiwai KUH Perdata Indonesia karena KUH
Perdata Belanda dicontoh dalam kodifikasi KUH Perdata Indonesia. Kodifikasi KUH
Perdata (BW) Indonesia diumumkan pada 30 April 1847 melalui Statsblad No. 23,
dan mulai berlaku pada 1 Januari 1848. kiranya perlu dicatat bahwa dalam
menghasilkan kodifikasi KUH Perdata (BW) Indonesia ini Scholten dan
kawan-kawannya berkonsultasi dengan J. Van de Vinne, Directueur Lands Middelen
en Nomein. Oleh karenanya, ia juga turut berhasa dalam kodifikasi tersebut. Disamping
itu, sejarah mengenai perkembangan hukum perdata yang berkembang di Indonesia
bahwa hukum perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum
perdata Belanda yang di berlakukan asas Korkondansi yaitu hukum yang berlaku di
negeri jajahan (Belanda) yang sama dengan ketentuan yang berlaku di negeri
penjajah.
Secara makrosubtansial, perubahan –
perubahan yang terjadi pada hukum perdata Indonesia:
Pertama, pada mulanya hukumperdata
Indonesia merupakan ketentuan- ketentuan pemerintahan Hindia-Belanda yang di
berlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB).Sesuai dengan
stbll.No.23 tanggal 30 April 1847 yang terdiri dari 36 pasal. Kedua, dengan konkordansi
pada tahun 1848 di undangkan KUH perdata (BW) oleh pemerintah Belanda.Di
samping BW berlaku juga KUHD (WvK) yang di atur dalam stbl.1847 No.23. Dalam
Perspektif sejarah,hukum perdata yang berlaku di Indonesia terbagi dalam dua
periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia
Merdeka. Pertama, Sebelum Indonesia merdeka sebagaimana negara jajahan, maka
hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa penjajah. Hal yang sama
dengan hukum perdata. Hukum perdata yang di berlakukan bangsa belanda untuk
Indonesia mengalami adopsi dan penjalanan sejarah yang sangat panjang. Pada
mulanya hukum perdata belanda di rancang oleh suatu panitia yang di bentuk
tahun 1814 yang di ketuai oleh Mr.J.M Kempers (1776 – 1824).Tahun 1816,Kempers
menyampaikan rencana kode hukum tersebut pada pemerintah Belanda di dasarkan
pada hukum Belanda kuno dan di beri nama Ontwerp Kempers. Ontwerp Kempers ini
di tantang keras oleh P.Th.Nicolai,yaitu anggota parlemen berkebangsaan Belgia
dan sekaligus menjadi Presiden Pengadilan Belgia.Tahun 1824 Kempers
meninggal,selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum di serahkan
Nicolai.Akibat perubahan tersebut,dasar pembentukan hukum perdata Belanda
sebagian besar berorientasikan pada code civil Perancis.Code civil Perancis
sendiri meresepsi hukum romawi,Corpus Civilis dari Justinianus.Dengan demikian
hukum perdata belanda merupakan kombinasi dari hukum Kebiasaan/hukum Belanda
kuno dan Code Civil Perancis.Tahun 1838,Kodifikasi hukum perdata Belanda Di
tetapkan dengan stbl.838. Pada tahun 1848,kodifikasi hukum perdata belanda di
berlakukan di Indonesia dengan stbl.1848. Dan Tujuh tahun kemudian,Hukum
perdata di Indonesia kembali di pertegas lagi dengan stbl.1919.
Kedua, Setelah Indonesia merdeka, hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia di dasarkan pada pasal II aturan peralihan
UUD 1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan di nyatakan
masih berlaku sebelum di adakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya
hukum perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah
terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) di bidang hukum perdata. Namun,
secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya
mengalami beberapa proses pertumbuhan atau perubahan yang mana perubahan tersebut
di sesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
Hukum perdata
dalam arti luas ialah bahan hukum sebagaimana tertera dalam KitabUndang-undang Hukum Perdata (KUHP) atau disebut juga dengan
Burgelijk Wetboek (BW), Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
disebut juga denganWetboek van Koophandel
(WvK) beserta sejumlah undang-undang yang disebutundang-undang tambahan
lainnya. Undang-undang mengenai Koperasi, undang-undang nama perniagaan.
Hukum perdata dalam arti sempit
ialah hukum perdata sebagaimana terdapat dalamkitab
Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Dengan kata lain, hukum perdata dalamarti luas ialah meliputi semua peraturan-peraturan hukum perdata baik yangtercantum dalam KUH Perdata / BW maupun dalam KUHD dan
Undang-Undanglainnya.Hukum Perdata (Sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata / BW)mempunyai hubungan yang erat dalam hukum dagang
(KUHD). Hal ini tampak jelasdari isi ketentuan pasal 1 KUHD. Mengenai hubungan
kedua hukum tersebut dikenaladanya adegium
“Lex specialis derogat legi generali (hukum yang khusus : KUHPmengesampikan
hukum umum : KUH perdata).
Hukum perdata
yang berlaku di indonesia berdasarkan pasal 163 IS (IndischeStaatsregeling = Aturan Pemerintah Hindia Belanda) adalah berlainan
untuk golongan warga Indonesia yaitu :
a.
Untuk golongan warga negara
Indonesia Asli berlaku hukum adat, yaituhukum yang sejak dulu kala secara
turun temurun.
b.
Untuk golongan warga negara
Indonesia keturunan cina berlaku seluruh BWdengan pembahan mengenai
pengangkatan anak dan kongsi (S. 1917 No. 129)
c.
Untuk golongan warga negara
Indonesia keturunan Arab, India, Pakistan danlain-lain berlaku sebagaimana BW
yaitu mengenai hukum harta kekayaan danhukum
waris dengan surat wasiat, sedang mengenai hukum keluarga dan hukum waris tanpa wasiat berlaku hukum adatnya
sendiri, yaitu hukum adatmereka yang tumbuh di Indonesia (S. 1924 no.
556)
d.
Untuk golongan warga negara
Indonesia keturunan Eropa (Belanda, Jerman,Perancis) dan Jepang seluruh BW.
Bagi orang Indonesia asli apabila mereka menghendaki,
ketentuan-ketentuan dalam BW dapat dinyatakan berlaku bagi mereka (baik untuk
seluruhnya, sebagian atauuntuk suatu perbuatan hukum tertentu). Demikian pula
apabila sesuatu perbuatanhukum tidak dikenal dalam hukum adat, seperti pendirian PT, CV, Firma atau penarikan
wesel dan cek, maka bagi orang Indonesia asli yang melakukan perbuatanhukum
seperti itu diperlakukan ketentuan dalam BW (S. 1917 No. 556). Pluralisasi hukum perdata artinya bermacam-macam berlakunya hukum perdatakarena belum adanya : univikasi --- hal ini karena adanya bermacam-macamgolongan. Hukum perdata yang berlaku di
Indonesia ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis. Hukum perdata yang tertulis adalah hukum
perdata sebagaimana yang diatur dalam
BW, sedangkan hukum perdata yang tidak tertulis adalah hukum adat, yaituhukum yang sejak dahulu kala dianut atau dipatuhi secara turun-temurun ataukebiasaan yang senantiasa dipatuhi dan dipandang sebagai hukum oleh yang berkepentingan.
Apabila ditilik
dari sistematikanya, ternyata hukum perdata di Indonesia mengenaldua
sistematika :
a) Sistematika hukum perdata menurut undang-undang yaitu hubungan
perdatasebagaimana termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata/BW yangterdiri :
Buku I : tentang orang (Van personen) yang mengatur hukum perseorangandan hukum keluarga
--- diatur (pasal 1 s/d 498)
Buku II: tentang Benda (van Zaken) yang mengatur hukum benda dan hukumwaris ---
diatur (pasal 499 s/d 1232)
Buku III: tentang Perikatan (Van Verbintenissen) yang mengatur hukum perikatan
dan hukum perjanjian --- diatur (pasal 1233 s/d 1864)
Buku IV: tentang pembuktian dan kadaluwarsa, yang mengatur alat-alat
buktidan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum --- diatur (pasal1865 s/d
1993).
b) Menurut ilmu pengetahuan hukum, sistematika hukum perdata material
terdiri:
a.
Hokum tentang
orang / Hukum perorangan / badan pribadi (personen recht)
b.
Hokum tentang keluarga / hokum keluarga (familie
recht)
c.
Hokum tentang harta kekayaan / hokum harta benda
(vermogen recht)
d.
Hokum waris (erfrecht)
Keterangan :
1.
Hukum perorangan mengatur tentang
hal-hal diri seseorang
2.
Hukum Keluarga mengatur tentang
hubungan hukum yang timbul dari perkawinan
3.
Hukum benda mengatur tentang
kekuasaan orang atas benda
4.
Hukum perikatan mengatur tentang
hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian dan Undang-undang
5.
Hukum waris mengatur tentang
harta kekayaan seseorang yang telah meninggal
Beberapa asas yang
terkandung dalam KUHPerdata yang sangat penting dalam Hukum
Perdata adalah:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa
setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur
dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal
1338 KUHPdt).
2. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
3. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung
pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi
setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.
4. Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat ini adalah asas yang menyatakan
bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian
tersebut dan sifatnya hanya mengikat.
5. Asas Persamaan hukum,
Asas persamaan hukum mengandung
maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak
dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara
satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan
ras.
6. Asas Keseimbangan,
Asas keseimbangan adalah asas
yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat
menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul
pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
7. Asas Kepastian Hukum,
Asas kepastian hukum atau disebut
juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan
akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
8. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam
perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat
menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini
terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan
sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan
dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada
yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada
kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
9. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung
pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum.
Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak
ini berada pada posisi yang lemah.Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan
dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam
kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan
asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat
kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai
dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak
10. Asas Kepatutan.
Asas kepatutan tertuang dalam
Pasal 1339 KUHPdt. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian
yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya
11. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas
yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak
hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal
1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
12. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar